RADIXNEWS, JAMBI – Oleh: Teuku Ryan Syuhufi Fhazlan, Roihan Waladi, Rifqi Rusdan Sahib dan Fatonah, S.S., M.I.Kom.
Thailand merupakan bagian dari kawasan yang dikenal sebagai Indochina, yang mencakup negara-negara seperti Vietnam, Kamboja, dan Laos. Istilah “Indochina” sendiri pertama kali digunakan pada awal abad ke-19 untuk menggambarkan pengaruh budaya dari India dan Tiongkok di wilayah tersebut. Dalam dekade setelah Perang Dunia II, Thailand memainkan peran yang signifikan dalam dinamika politik di kawasan Indochina. Periode 1945 hingga 1950 menjadi saksi transformasi besar dalam hubungan Thailand dengan negara-negara tetangganya, yaitu Laos, Kamboja, dan Vietnam. Dalam konteks perjuangan melawan kolonialisme Prancis, Thailand tidak hanya berusaha mempertahankan kedaulatannya, tetapi juga berupaya mendukung gerakan kemerdekaan di Indochina. Setelah perang, ketika Prancis berusaha untuk mengembalikan kekuasaannya di Indochina, Thailand merasakan dampak langsung dari kebangkitan semangat nasionalisme di kawasan tersebut. Pemerintah Thailand, di bawah kepemimpinan Jenderal Phibun, melihat peluang untuk memperkuat posisinya dengan mendukung gerakan kemerdekaan. Ini bukan hanya tentang solidaritas, tetapi juga tentang strategi geopolitik untuk mengamankan kepentingan nasional Thailand.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Salah satu langkah penting yang diambil oleh Thailand adalah menjalin hubungan dengan pemimpin-pemimpin gerakan kemerdekaan, seperti Lao Issara dan Vietminh. Dukungan ini tidak hanya bersifat simbolis, tetapi juga mencakup bantuan logistik dan diplomatik. Thailand berusaha untuk menjadi jembatan bagi gerakan-gerakan ini, memberikan mereka ruang untuk beroperasi dan mengorganisir perlawanan terhadap kekuatan kolonial. Namun, dukungan ini juga membawa tantangan tersendiri. Ketika ketegangan antara kekuatan kolonial dan gerakan kemerdekaan meningkat, Thailand harus menavigasi situasi yang kompleks. Di satu sisi, ada keinginan untuk mendukung kemerdekaan, tetapi di sisi lain, ada kekhawatiran akan potensi dampak negatif terhadap stabilitas domestik. Ketakutan akan penyebaran komunisme, terutama setelah kemenangan revolusi komunis di China pada tahun 1949, membuat pemerintah Thailand semakin berhati-hati dalam mendukung gerakan-gerakan ini.
Periode ini juga menandai perubahan dalam kebijakan luar negeri Thailand. Dengan meningkatnya ketegangan Perang Dingin, Thailand mulai menjalin hubungan yang lebih erat dengan negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat. Ini menciptakan dilema bagi Thailand, di mana mereka harus menyeimbangkan dukungan terhadap kemerdekaan negara- negara Indochina dengan kebutuhan untuk menjaga hubungan baik dengan kekuatan besar yang berusaha menahan pengaruh komunis di Asia Tenggara. Dalam konteks ini, penting untuk memahami bahwa hubungan Thailand dengan negara-negara Indochina selama periode 1945-1950 bukan hanya tentang dukungan terhadap kemerdekaan, tetapi juga tentang strategi politik yang kompleks. Thailand berusaha untuk mempertahankan kedaulatannya, mendukung tetangga yang berjuang untuk kemerdekaan, dan pada saat yang sama, menjaga stabilitas domestik dan hubungan internasional yang menguntungkan.
Sebagai kesimpulan, periode 1945-1950 merupakan babak penting dalam sejarah Thailand dan Indochina. Dukungan Thailand terhadap gerakan kemerdekaan di Indochina mencerminkan semangat solidaritas, tetapi juga menunjukkan tantangan yang dihadapi dalam menavigasi politik regional dan global yang semakin rumit. Memahami dinamika ini adalah kunci untuk menganalisis hubungan Thailand dengan negara-negara tetangganya hingga saat ini.
Penulis Teuku Ryan Syuhufi Fhazlan, Roihan Waladi, dan Rifqi Rusdan Sahib adalah Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Jambi dan Fatonah, S.S., M.I.Kom adalah Dosen Ilmu Sejarah Universitas Jambi
Editor :Admin